Kamis, 04 Juli 2013

perjuangan hidup seorang gadis remaja

Sewaktu masih kecil dulu, setiap dari kita pasti pernah mempunyai mimpi atau visi tentang masa depan. Seperti apakah kehidupan kelak jika sudah dewasa? Mau menjadi apakah kita nantinya? Setiap mimpi itu memacu kita untuk terus hidup dan berkarya, serta bertahan dalam menghadapi segala cobaan hidup. Namun bagaimana rasanya jika takdir memaksa kita untuk mengetahui bahwa kita tidak akan pernah bisa mewujudkan apa yang paling kita inginkan tersebut?

Berikut adalah kisah seorang gadis yang menderita Spinocerebellar Ataxia (SCA) di awal-awal masa remajanya. SCA adalah penyakit yang mengakibatkan timbulnya ketidakseimbangan dalam daya kerja saraf dalam tubuh. Akibatnya, sel saraf sum-sum tulang belakang, otak kecil, dan penghubung otak besar-otak kecil mengalami perubahan dan bahkan kehilangan fungsinya. Belum diketahui apa penyebab penyakit ini. Hingga sekarang

Selamat membaca dan semoga terinspirasi.

Perjalanan Hidup Seorang Gadis Penuh Semangat
Namanya Aya Kito. Lahir di Toyohashi pada Juli 1962 (runut berdasarkan keterangan di buku). Ia tumbuh di tengah keluarga yang hangat dan dibesarkan oleh seorang ayah dan ibu yang penuh kasih sayang. Ibunya, Shioka Kito yang bekerja di Public Health Nursing daerah Toyohashi. Mempunyai seorang adik perempuan bernama Ako, dua adik laki-laki, dan seorang adik bungsu bernama Rika.

Hingga berusia 14 tahun dan bersekolah di SMP swasta Seiryo, tubuh Aya—begitu sapaannya—masih terlihat normal seperti gadis remaja pada umumnya. Saat usia 15 tahunlah gejala penyakit itu mulai nampak.

Suatu hari saat berangkat sekolah, ada kejadian aneh yang menjadi awal kecemasan ibu Aya. Ketika sedang melangkah, tiba-tiba Aya merasakan lututnya melemas lalu ia jatuh tersungkur. Semenjak itu kondisi fisik Aya menurun perlahan-lahan. Cara berjalannya juga mulai terlihat aneh. Kakinya seperti membentuk huruf O. Ibunya, Shioka Kito yang khawatir akan kondisi sang putri membawa Aya ke rumah sakit Universitas Negeri Nagoya. Di sana Aya ditangani oleh Dokter Itsuro Sofue.


Aya menjalani pemeriksaan kesehatan keduanya pada awal-awal masa sekolah di SMA Negeri Toyohashi (atau disebut sebagai SMA Negeri Aichi oleh Aya dalam buku hariannya). Bahkan ia harus menghabiskan liburan musim panas SMA pertamanya di rumah sakit Nagoya untuk pemeriksaan lebih lanjut dan menjalani terapi. Mulai dari sini kontrol kesehatannya dipegang oleh Dokter Hiroko Yamamoto, spesialis neurologi Rumah Sakit Nagoya. Saat itu usianya 16 tahun.


Masa-masa remaja di SMA dilalui Aya dengan tidak mudah mengingat kondisi fisiknya yang terus menurun. Ia kesulitan berpindah kelas saat pergantian jam pelajaran. Meskipun teman-temannya banyak yang membantu, namun ia tak ingin menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya.


Melihat perkembangan putrinya di sekolah yang demikian, Ibu Aya mengusulkan agar Aya pindah saja ke Sekolah Luar Biasa. Keputusan yang berat. Karena Aya takut akan kehilangan teman-temannya, kehidupan normalnya, bahkan mungkin mimpinya untuk melanjutkan ke universitas setelah lulus nanti. Bayangan-bayangan kesendirian dan menjadi terkucil jika tinggal di asrama SLB membuatnya semakin takut. Namun ia juga tak sanggup kalau harus melanjutkan belajar di sekolah negeri secara normal. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, Aya memutuskan untuk menyetujui usul ibunya itu. Ia terdaftar di SLB Okazaki saat pengumuman kenaikan kelas dua SMA Negeri berlangsung. Ia sudah menggunakan kursi roda saat akan masuk SLB.


Di usianya yang 17 tahun, Aya mengalami kesulitan berbicara, cara makannya semakin sulit dan ia sering tersedak. Ia lulus dari SLB usia 18 tahun. Perkembangan penyakitnya tidak membaik. Namun semangat di dalam diri Aya semakin tinggi. Ia masih menulis di buku hariannya hingga usia 20.
Aya Kito meninggal pada 23 Mei 1988, pukul 00.15 di usia 25 tahun 10 bulan. 

Aya si Gadis Anti Pesimis

Hidup sebagai gadis yang ceria dan penuh semangat, Aya tak pernah mau berhenti belajar. Ia sosok pemudi yang terencana. Kehidupan yang hangat di tengah keluarganya yang penuh kasih sayang membuat Aya tumbuh menjadi pribadi yang ramah dan mempunyai visi serta misi dalam hidup. Sekalipun fisik membatasinya.
“My life is like a flower that hasn't bloomed yet.from the start of this youth, I want to treasure it and have no regrets.”—dikutip dari serial 1 Litre of Tears

Ada semangat jiwa muda yang begitu membara pada sosok Aya. Meski pada akhirnya ia tak dapat melanjutkan hidup sebagaimana gadis normal lainnya, semangat itu tetap ada dalam diri Aya-chan. Semangat yang membawanya pada kehidupan sepuluh tahun mendatang, melawan penyakit.“Sepertinya perjuanganku melawan penyakit ini akan semakin berat. Apakah Tuhan akan mengizinkanku berjuang dalam waktu yang panjang?”
Sebagai manusia biasa Aya memang pernah bersedih atas penyakit yang menimpanya ini. Apalagi ia tahu bahwa tidak ada perkembangan baik sedikitpun agar ia bisa sembuh. Hingga beberapa penyesalan sempat menghantui pikirannya. Untuk apa ia hidup kalau tak bisa berbuat banyak pada orang lain? Jangankan membantu melakukan sesuatu, mengucap ‘halo’ pada mereka pun susah sekali. 
“Aku tak ingin menjadi dewasa!Ingin rasanya aku menghentikan waktu!Meski jam rusak, tapi jam dunia tetap berputar.Selama manusia hidup, waku akan terus berputar.Itulah sebabnya manusia tidak boleh menyerah.”Namun, bagaimanapun sedihnya, ia tak pernah berhenti untuk percaya bahwa suatu saat kelak, ia akan menemukan kebahagiaan.“Anehnya, betapapun aku merasa sangat menderita, tak sedikitpun terlintas pikiran ingin mati. Mungkin aku merasa suatu hari nanti aku akan menemukan kebahagiaan. Bukankah dalam Kitab Suci dikatakan bahwa hidup adalah cobaan dunia?”


Memang jarum kehidupan tak dapat diputar sekalipun Doraemon itu benar-benar hidup. Sementara kehidupan tetap berjalan ke depan, kenyataan hidup harus dihadapi sepahit apapun. Ia sadar bahwa tak ada gunanya menyesali apa yang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Manusia hanya diberi kemampuan untuk bertahan dan berbuat sebaik mungkin dengan kondisi yang ditanggungnya. Ia berharap suatu saat bisa memberikan sesuatu untuk orang-orang yang selama ini membantunya, dan bersumbangsih pada masyarakat.

Kalau Dia Bisa, Kenapa Kita Masih Beralasan?


Ada orang-orang yang begitu kuat. Hidup mereka divonis tidak lama. Mereka menangis di balik dinding kamarnya. Tapi selalu tersenyum tatkala memandang kepada dunia. Mereka bercerita pada kami tentang arti hidup dan ketegaran. Dunia kagum pada orang-orang seperti mereka. Di lain sisi ada juga orang-orang yang tak pernah mendapat vonis mati atau lumpuh seumur hidup. Namun waktu hidupnya banyak dibuang sia-sia. Apakah Tuhan harus memberikannya penyakit mematikan terlebih dahulu agar mereka tahu betapa pentingnya setiap detik yang mereka habiskan itu?
Tuhan menciptakan orang-orang seperti Aya bukan tanpa maksud. Ada pesan yang ingin disampaikan-Nya melalui orang-orang seperti ini. Ketabahan, kesabaran, keikhlasan menerima takdir. Ia telah menanamkan bibit teladan pada diri Aya Kito. Teladan untuk ditiru ketangguhannya dalam menerima takdir dan perjuangannya yang tiada henti.

Tidak mudah tentunya bagi siapapun yang semula punya kehidupan normal, tiba-tiba terbalik drastis tanpa pernah disangka. Penyakit yang doderita Aya ini berlangsung terlalu cepat. 2 tahun setelah gejala awal, tubuhnya kian lemah dan lumpuh. Bahkan ia sudah harus duduk di kursi roda pada awal tahun kedua. 8 tahun berikutnya ia habiskan tahun dengan tubuh yang hampir tidak bisa melakukan apa-apa dengan benar. Genap 10 tahun ia mengalami penderitaan yang begitu hebat. Namun semuanya dihadapi oleh Aya dengan senyuman dan harapan, bahwa suatu saat ia pasti bakal bahagia. 


Bayangkan, saat Tuhan tiba-tiba mengirimkan penyakit yang membuat tubuh kita lumpuh, merasakan kemampuan kita berkurang satu per satu....
Bayangkan jika kita tak lagi mampu berjalan dengan kedua kaki, tak bisa memegang sendok untuk makan, mengalami kesulitan bicara, dan menyaksikan tubuh kita mati secara perlahan. Kita dipaksa melepas segala mimpi yang telah lama kita siapkan. Dan harus menyadari bahwa kita tak akan pernah punya masa depan.Apakah kita tetap akan berjuang dan membuktikan kalau kita masih punya guna?Dia yang penuh keterbatasan saja mampu membuktikan kalau ia berguna dan punya daya juang tinggi. Apalagi kita yang masih diberi kemampuan fisik lebih sempurna. Sudah seharusnya kalau kita tidak mudah menyerah, putus asa, apalagi sampai menyalahkan takdir karena segala kekurangan yang kita miliki. Justru kita harus bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang, termasuk dengan segala kekurangan yang ada.
Sering dari kita tak pernah terpikirkan bagaimana kita bisa berjalan. Bagaimana rasanya kaki yang memijak tanah itu dapat menapaki batu-batuan. Bagaimana otot-otot kita saling bersinergi hingga kita mampu bergerak. Sementara orang lain berjuang keras melatih otot mereka dengan terapi berjalan.
Sungguh betapa nikmat yang tiada tara saat kita bersyukur dan berbuat lebih dengan segala apa yang kita miliki sekarang. Sekalipun yang kita miliki itu bernama 'kekurangan'.Saya jadi ingat sebuah nasihat bijak,“Jangan tidur kalau masih sanggup duduk,Jangan duduk kalau masih sanggup berdiri,Jangan berdiri kalau masih sanggup berjalan,Jangan berjalan kalau masih sanggup berlari.”Mungkin pesan inilah yang juga ingin disampaikan oleh Aya Kito.

Bercermin Pada Aya-chanIa yang cacat menghabiskan waktu satu jam untuk melipat futon (alas tidur) dan berganti baju, 30 menit ke toilet, serta sarapan selama 40 menit. Itulah yang dilakukan Aya setiap pagi selama di SLB. Sedangkan saya, atau mungkin banyak dari kita yang masih sehat, terkadang merasa tidak sempat atau bahkan enggan untuk sekadar merapikan tempat tidur saat tergesa-gesa berangkat kuliah atau kerja. Padahal waktu yang dibutuhkan juga tidak sampai 3 menit. 

Dulu saya menamatkan serial 1 Litre of Tears di rumah selama tiga hari. Dan setelah episode terakhir, saya langsung bersih-bersih kamar tidur saat itu juga. Saya merasa malu pada Aya. Sedangkan ia dengan segala kemauannya, bersusah payah untuk memegang benang rajutan, berusaha merampungkan satu baris jahitan saja.
Perjalanan Aya Kito yang dituangkan dalam buku 1 litre of Tears membuat saya mempunyai moto hidup yang baru yaitu ‘Aku harus berguna!’ Harus ada sesuatu yang kuberikan pada dunia selama aku masih hidup. 
Mulai saat itu, saya mengubah pertanyaan “Apa yang akan kudapat dari hal ini?” menjadi “Apa yang bisa kuberikan untuk ini agar menjadi lebih berarti?”
Karena aku harus berguna! ***

Aya Kito bukanlah pencipta pesawat terbang, penemu teori mutakhir, pencetus ide-ide brilllian yang fenomenal, atau pun peraih nobel perdamaian. Namun pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam buku harian itu telah menggugah hati jutaan umat manusia yang membacanya. Semangat yang ia torehkan lewat kata tak pernah surut meski jasadnya telah dikebumikan 22 tahun yang lalu. Ia tetap hidup dalam jiwa setiap insan yang pernah mengenalnya, baik secara langsung ataupun lewat kisahnya.
Perjuangan Aya tak kenal kata menyerah meski ia tahu pasti bahwa hidupnya tak bakal lama. Baginya, hidup lebih dari sekadar punya usia yang panjang. Hidup adalah apa yang mampu kita berikan pada dunia semasa kita masih bisa bernafas. 

Tidak ada komentar: